Menuju Pendidikan Tinggi Gratis: Membongkar Mitos Biaya Kuliah

UMUM216 Dilihat

NuansaPendidikan, Jakarta – Dalam visi-misinya, ketiga pasangan capres-cawapres mengakui pentingnya pendidikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan demikian, akses yang luas dan terjangkau terhadap pendidikan yang bermutu sampai perguruan tinggi menjadi kunci. Mungkinkah kuliah bisa gratis?

Biaya Tinggi dan Impian Menjadi Sarjana

DUA puluh satu tahun lalu, dari sebuah desa di Magetan, saya merantau ke Jogjakarta untuk kuliah di universitas negeri yang menjadi impian banyak orang di negeri ini. Bahkan hingga hari ini. Kala itu kuliah di universitas negeri menjadi impian, bukan hanya karena merupakan wujud pencapaian, tapi karena biayanya jauh lebih murah daripada kuliah di universitas swasta.

Tapi, itu dulu. Kini biaya kuliah di universitas negeri bisa sama mahal atau bahkan lebih mahal dibanding perguruan tinggi swasta. Belum lagi ketika mahasiswa datang dari luar kota sehingga membutuhkan biaya kos dan biaya hidup selain biaya kuliah yang semakin mahal. Jelas, kuliah bukan untuk semua orang.

Bagi banyak orang, menjadi sarjana adalah sebuah impian yang tak mungkin tergapai. Bagi banyak keluarga, bisa menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi adalah sebuah mukjizat atau sebuah pengorbanan darah dan air mata dalam makna yang sesungguhnya. Banyak orang tua yang harus menjual sawah atau berutang hanya demi mengantarkan anaknya menjadi sarjana.

Sarjana Adalah Barang Mewah

Pendidikan tinggi masih menjadi barang mewah di negeri ini. Faktanya, mayoritas penduduk Indonesia masih berpendidikan rendah. Hanya 6,4 persen dari jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi. Sebanyak 80 persen dari populasi di Indonesia berpendidikan SMP. Bahkan amanat wajib belajar 12 tahun pun belum bisa sepenuhnya diwujudkan.

Data ini masih ada lanjutannya: Dari total pengangguran yang ada di Indonesia, sebanyak 76 persen adalah lulusan SD/SMP. Artinya, ada korelasi langsung antara tingkat pendidikan dan kesempatan untuk mendapat pekerjaan. Ketika lapangan kerja hanya terbuka untuk mereka yang menempuh pendidikan tinggi, sementara hanya kurang dari 10 persen jumlah penduduk yang punya kesempatan untuk kuliah, semakin banyak generasi produktif yang akan terjebak dalam pengangguran dan kemiskinan.

Mitos

Ada semacam mitos dalam dunia pendidikan yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi memang harus mahal karena biaya operasional perguruan tinggi juga tidak murah. Mitos ini terus berkembang karena terpengaruh oleh sistem di Amerika Serikat yang memang menerapkan liberalisasi sistem pendidikan.

Sistem student loan alias utang mahasiswa untuk biaya kuliah menjadi sebuah hal yang wajar. Utang itu akan dibayar setelah si mahasiswa lulus kuliah dan mulai bekerja. Hal yang sekilas tampak mulia ini sebenarnya adalah sebuah jebakan. Para sarjana baru yang mulai meniti karier harus menanggung utang. Beban utang harus bertemu dengan kebutuhan-kebutuhan lain, mulai biaya hidup, biaya anak sekolah, cicilan rumah, belum lagi ketika orang tersebut adalah bagian dari generasi sandwich yang harus membiayai orang tuanya. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan tinggi ternyata tidak menjadi elevator yang mengangkat kelas ekonomi seseorang.

Nyatanya, dalam penelitian-penelitian mutakhir yang mencoba menelisik kenapa biaya pendidikan tinggi harus sedemikian mahal, terungkap bahwa sesungguhnya biaya kuliah bisa gratis.

Robert Samuels dalam bukunya, Why Public Higher Education Should Be Free (2013), mengurai bagaimana biaya yang dibebankan pada seorang mahasiswa itu digunakan untuk menopang semua biaya, termasuk biaya administrasi dan bahkan kebutuhan riset.

Kebijakan serupa diterapkan di perguruan tinggi di Indonesia sejak adanya kebijakan perguruan tinggi badan hukum (PTNBH). Dengan status PTNBH, perguruan tinggi memiliki otonomi dalam pengelolaan keuangan serta mencari pendapatan untuk membiayai pengeluaran mereka. Biaya pendidikan mahasiswa ditentukan secara independen oleh universitas dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa. Biaya inilah yang saat ini kita kenal dengan nama uang kuliah tunggal (UKT). Kebijakan inilah yang menjadi alasan mengapa biaya pendidikan tinggi publik di Indonesia menjadi mahal serta terus naik tiap tahun.

Komentar